Energi Wal Ashri Dalam Membangun Bisnis


By
Mujiburrahman Al-Markazy

Sebenarnya, ini permintaan sudah lama oleh orang yang saya tuakan dalam dakwah. Memang, beliau orang tua. Beliau setelah menyimak tulisan saya. Beliau mereques untuk saya menulis artikel tentang wal Ashri. Hem, Alhamdulillah baru bisa direalisasikan penulisannya pak, mohon maaf sudah lama menunggu.  Beliau bernama Haji Mukhlis, dulu pernah bersama ketika mengarungi lautan dan deruhan ombak dakwah di negeri manise, Ambon. Yah, Ambon tapi sekarang beliau telah bermukim di Purwakarta, Jawa Tengah. Walaupun saya bermukim di Negeri Bumi Anoa, Kendari, Sulawesi Tenggara. 

Alhamdulillah, sudah lama out line mengenai tulisan ini tersimpan rapi di Blog ku tanpa ada sentuhan yang berarti. Subhanallah, setelah sentuhan demi sentuhan dilaksanakan terhamparlah mutiara hikmah dari wal Ashri itu sendiri. Lahaula walaa quwwata illa billah. Sesuai dengan untaian mutiara dari Imam Besar, Imam Syafii ra., beliau pernah mengungkapkan, "Seandainya Allah swt., tidak menurunkan Al-Qur'an selain Satu surat yang pendek ini, maka niscaya itu telah mencukupi mereka." Allahu Akbar! Setelah kita dalami Surat Cinta dari Allah itu. Memang, wal Ashri benar-benar telah membuat kita terpukau. Betapa sempurnanya firman Allah swt. Shadaqallah. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Waktu adalah perkara yang paling mahal dari apapun. Ini adalah modal terbesar bagi siapapun. Pengusaha untuk memajukan usahanya butuh waktu. Politikus ingin meraih jabatan butuh waktu. Seorang santri atau pelajar demi menuntaskan pelajarannya butuh waktu. Seorang yang ingin memasuki surga butuh waktu. Semua membutuhkan waktu. Sehingga, tidak mengherankan jika Allah swt., bersumpah menggunakan lafaz waktu.
وَالْعَصْرِ = "Demi Masa".(QS:Al-Ashar: 1)

Telah banyak ungkapan dan peribahasa yang membahas tentang waktu. Bagi bisnisman, "time is money", waktu adalah uang. Pagi seorang patriot seperti Sayyidina Ali ra., mengibaratkan waktu sebagai pedang, "Alwaktu kashaif". Singkatnya waktu begitu bernilai ditinjau dalam perspektif apa saja, waktu memang berharga. Allah swt., setelah bersumpah menggunakan waktu. Dia melanjutkan satu statement tentang konsekuensi penggunaan waktu. 
 إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ = "Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian". (QS:Al-Ashar: 2)

Allah swt., bersumpah bahwa manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, tanpa terkecuali. Semua orang, siapa saja yang salah dalam menggunakan waktunya. Ia rugi. Baik petani, pedagang, nelayan, pegawai, konglomerat, ulama, santri dan sebagainya. Intinya, siapapun, kapanpun dan dimanapun, rugi jika tidak menggunakan waktu dengan baik. Lantas, bagaimanakah penggunaan waktu yang baik...? Allah swt., menyampaikan kriteria penggunaan waktu yang baik pada ayat sesudahnya. 
إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Kecuali orang yang beriman, beramal sholeh, saling nasehat-menasehati dalam perkara yang Haq dan saling nasehat-menasehati supaya menepati kesabaran". (QS Al-Ashar:3)

Ada 4 komponen pokok dalam kriteria sebagai orang yang tidak rugi dalam mengisi waktu, ketika menjalani kehidupan di muka bumi ini. Pertama keimanan, dengan amal shaleh, tetap menjalankan dakwah dan sabar dalam menjalani ke-3 aspek itu. 

Yah, iman. Hanya dengan berlandaskan keimanan segala sesuatu itu bisa bernilai dan bertahan. Iman, artinya ada sesuatu yang diyakini. Percayalah, jika kita melakukan sesuatu aktifitas tanpa memiliki patokan yang jelas alias cuman ikut-ikutan, lambat laun pasti ia akan jenuh kemudian berakhir. Yah, dengan modal keimanan seseorang bisa survive dalam berbagai penderitaan. Sebelum kita memasuki inti keimanan cobalah kita merenung sedikit mengenai makna global keimanan.


Iman secara bahasa artinya percaya. Seorang petani tidak akan berkorban untuk mengolah sawah. Mulai dari membersihkan, membajak sawah, mencari benih yang unggul, menyiapkan tenaga atau biaya untuk merawat tanaman, padinya. Sang Petani pun harus menyediakan dana untuk memproteksi tanamannya dari segala hama dan penyakit. Hem, terakhir ia harus bersedia menyediakan tenaga dan waktu untuk memanen hasil pertaniannya.


Bayangkan, jika sang petani dari awal tidak memiliki keyakinan untuk memanen, apakah dia bersedia untuk membayar sekian 'pengorbanan' itu semua. Hem, rasa-rasanya sulit. 


Begitupun, hal ini berlaku kepada pegawai yang harus menamatkan jenjang demi jenjang pendidikan, kemudian dengan pengorbanan dalam mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Setelah lulus ia juga harus rela membayar 'biaya' bukan materi tapi disiplin, terkadang dimarahi oleh atasan. Itu semua dijalani dengan tabah karena bermodal keyakinan. Dalam konteks apapun, semua kesuksesan bermula dari satu keyakinan yang tidak sederhana. 


Padahal Allah swt bermaksud menciptakan manusia bukan untuk tujuan kesuksesan duniawi semata. Seandainya kalau tujuan penciptaan diri kita untuk tujuan duniawi. Maka, coba bandingkan sejenak. Saya ingin bertanya, seandainya begitu lahir saudara sekalian langsung diberikan duit sebanyak 1 trilyun, seumpama selama hidup kita nanti bisa mengumpulkan uang sebanyak itu, dengan konsekuensi lahir cacat tanpa mata. 


Saudara tidak akan pernah melihat indahnya matahari ketika terbit. Saudara tidak akan pernah melihat istri dan anak. Saudara tidak akan pernah melihat cucu saudara. Apakah saudara siap begitu lahir tanpa mata dan tidak bisa dioperasi menggunakan alat apapun? Atau saudara dilahirkan dalam keadaan tuli permanen tanpa bisa mendengar candaan dari istri, tawa dan tangis dari buah hati. Semua suara dan bunyi yang merdu tidak akan pernah didengar dan dinikmati. Apakah kita bersedia...? 


Mungkin, kita akan berfikir jutaan kali untuk menerima tawaran itu. Jadi, apa sebenarnya harganya duniawi yang kita kejar mati-matian padahal mahalnya pendengaran dan penglihatan bisa mengalahkan 'hasil' capaian keduniaan yang akan kita raih. Hem, alangkah ruginya kita jika duniawi kita kedepankan tanpa nilai ukhrawi. 


Hem, untuk mencapai keduniaan dibutuhkan sekian 'pengorbanan' apalagi untuk mencapai nilai tertinggi suatu prestasi ukhrawi.  Pasti sangat dibutuhkan nilai keimanan untuk membentuk 'watak pengorbanan' yang hakiki.  


أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ 
"Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu sekalian hanyalah untuk bermain-main dan bersenda gurau belaka. Apakah kamu tidak akan dikembalikan untuk ditanyakan (mengenai semua nikmat yang pernah diberi)". (QS al-Mukminun 115).
Apakah itu permainan dan senda gurau...? Allah sendiri menjawabnya. 

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
"Dan tidaklah kehidupan dunia itu melainkan hanyalah permainan dan senda gurau belaka." (QS Al-An'am : 32). 

Hem, jika kita hanya mengejar dan mencari keduniaan, seserius apapun usaha kita. Hem, mohon maaf, Allah tetap menyebut usaha kita adalah permainan belaka. Kasihan jika semua kebaikan duniawi kita hanya laksana debu yang menempel di batu licin, kemudian diguyur hujan. Habislah nilai keduniaan kita di hadapan Allah.

فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ 
"Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan." (QS Al-Baqarah: 264). 

Ada sebuah pertanyaan menggelitik, mengapa usaha duniawi seperti apapun bentuknya adalah permainan saja walaupun sudah di manage sedemikian rupa. Hem, jawabannya singkat, karena duniawi sifatnya sementara seperti sifat dari permainan itu sendiri.

Allah sudah mensifati dunia dengan permainan karena sisi kesementaraannya. Hem, adakah permainan yang abadi. Permainan yang tidak ada istirahat, tidak ada batas...? Pasti tidak ada. Seperti itupun dunia, jika hanya itu yang jadi tujuan maka rugilah kita. Rugi karena yang kita kumpulkan tidak akan sampai di akhirat. Hanya sebatas dunia, tok. Begitu keranda menjemput kita menuju liang kubur. Hem, semua kehebatan, gelar akademik, relasi yang banyak, sanjungan dan pujian yang pernah kita raih sewaktu hidup, berakhir sudah. Tinggalah penyesalan dan penyesalan. 

Ini poin pertama, iman. Hendaklah kita bangun keduniaan kita, aktifitas kita, kesibukan kita dengan nilai-nilai keimanan. Aturan bos dengan bawahan karena nilai keimanan. Memberikan gaji karyawan dengan nuansa keimanan, interaksi antara karyawan dengan bos, bos dengan mitra, karyawan dengan pelanggan semua dilandasi dengan spirit keimanan kepada kampung akhirat. 

Hadirkan perasaan dilihat oleh Allah, diatur dalam tatanan Hukum Allah, akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah. Inilah mesin terbaik dalam menggerakan roda perusahaan, mendobrak bed mood

Poin ke dua kunci kesuksesan menjalani kehidupan adalah amal shaleh. Apa itu amal shaleh...? Secara singkat amal shaleh adalah amal yang diridhoi dan dicintai oleh Allah. Kita peruncing lagi. Apa itu amal yang dicintai oleh Allah...? Allah sendiri yang menjawabnya. 


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS. Al-Imron: 31). 
Semua kesibukan kita, hadirkan sunnah Nabi di dalamnya. Dalam bisnis kita mulai dengan sunnah Nabi. Hadirkan nawaitu, niat yang benar, semata-mata menjalankan ibadah kepada Allah, semata-mata agar Allah ridha. Tidak menjual yang haram. Mentertibkan pegawai dengan tertib Islam. 
Konsultasi kepada Kiyai dan ulama tentang akad dalam transaksi. Sebab, rusaknya muamalah di dalam menjalankan bisnis sumber awalnya adalah dari rusaknya akad dalam transaksi. Baik itu akad jual beli, akad hutang piutang, akad perjanjian gaji, akad bagi hasil. Semua akad-akad itu dikonsultasikan sehingga sesuai dengan timbangan syar'i. 
Sebelum kita melangkah pada pembahasan watawa shaubil haq. Kami ingin sampaikan bahwa dalam praktek kerja biasanya shalat adalah perkara yang di anggap remeh, alias dibelakangkan. Padahal Allah swt menjadikan shalat adalah kewajiban ke-2 setelah keimanan. 
Hem, kalau kita berbicara amal shaleh tanpa membahas shalat ini rupanya ada yang hilang, karena sholat adalah induknya amal shaleh. Setelah seseorang berani meninggalkan shalat, berarti ia akan berani dan lancang dalam melanggar aturan Allah yang lain. Selain kita ketatkan aturan berseragam syar'i, jam kantor disiplin tanpa berdisiplin dalam menjaga waktu sholat terkhusus yang fardhu, maka kita telah merawat anak atau cabang amalan dan pokoknya atau induknya amalan telah kita campakan. 
Poin ke tiga adalah watawa shaubil haq. Saling berpesan dalam hal ketakwaan. Sudah lumrah dimanapun, siapapun, kapanpun terkadang orang bisa saja tergelincir dalam satu kekeliruan. Bisa salah. Baik itu dalam pengambilan kebijakan, dalam melaksanakan tugas, dalam beretika bisnis. Bisa saja salah dan khilaf terjadi. 
Jika tidak saling tegur dan ingatkan maka kerusakan akan semakin menganga. Setiap ada pembiaran terhadap satu kesalahan tanpa ditegur atau diingatkan maka kerusakan akan akan semakin membesar bahkan akan menular kepada yang lain. Inilah mengapa Allah mengharuskan kita supaya saling watawa shaubil haq. 
Hanya dengan upaya take and give dalam menjaga nilai-nilai kebenaran yang telah disepakati barulah upaya mencegah keburukan yang akan masuk kedalam sistem bisnis atau sistem organisasi atau sistem dalam tatanan masyarakat kita bisa dihindari. Insya Allah. 
Sebelum kita tutup poin ke tiga ini. Kami ingin menyampaikan bahwa tugas watawa shaubil haq ini mulanya adalah tugas para Nabi. Maka, sangat tidak benar kalau pembahasan ini kita lalui tanpa membahas tugas mulia tersebut. Semua para Nabi dan Rasul dakwah. 
Dakwah secara literliek artinya mengajak. Bukan sekedar mengajak kepada keduniaan tapi mengajak kepada kampung akhirat. Bukan hanya mengajak kepada 'makhluk' tapi mengajak kepada Allah. Bukan hanya mengajak agar cinta dan tertarik kepada dunia tapi harus mengajak kepada cinta for kampung akhirat, cinta kepada syurga dan sebagainya. Inilah kerja seluruh Nabi dan Rasul, dakwah. 
Disamping tugas kita sebagai karyawan, sebagai bos, sebagai istri, sebagai anak, sebagai pemuda, sebagai siswa atau santri tapi ada tugas lain yang lebih mulia, yakni tugas dakwah. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kerusakan atau kemungkaran. 
Jika kita tidak menjalankan dakwah tapi sudah ibadah berarti kita belum utuh masuk kedalam lingkaran orang yang tidak rugi. Ini ayat utuh, jangan dipisah. Dalam kondisi apapun dan bagaimanapun dakwah tetap kita lakoni. Tidak ada alasan, "Oh, maaf saya sibuk dagang."
"Oh, maaf saya sibuk di kantor."
"Oh, maaf saya sibuk di masjid." 
Tidak ada alasan, semua mesti dakwah. 

Poin terakhir agar tidak dikategorikan sebagai orang merugi adalah watawa shaubi shabri. Saling berpesan dalam hal kesabaran. Memang, sabar adalah kunci dari setiap kesuksesan. Sekeras apapun usaha kita, setekun apapun diri kita, sedisiplin apapun jika tanpa dilengkapi dengan kesabaran, maka semua upaya kita sirna. Bukan hanya sekedar sabar tapi 'mensabarkan' orang lain, watawa shaubi shabri . Iman butuh kesabaran, amal shaleh butuh kesabaran dan dakwah butuh kesabaran. Jika tanpa usaha sabar dan mensabarkan orang lain. Maka, dunia ini cepat binasa yang dipenuhi dengan manusia-manusia rugi dan merugikan orang lain.
=========

Bahan Bacaan:

Al-Kandahlawi, Zakariyah. 2007. Himpunan Fadhilah Amal. Bandung. Pustaka Ramadhan

Syafii, Shahab Muhammad dkk. 2008. Etika Bisnis Dalam Mencari Nafkah Yang Halal Menurut Syariat Islam. Bandung. Pustaka Ramadhan

Hamka. 2015. Keadilan Sosial Dalam Islam. Jakarta. Gema Insani Press

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Kekasih Allah